Makalah Formulasi Kebijakan - Dalam makalah ini diperoleh isi yaitu pengertian, Cara merumuskan, dan sesuatu yang mempengaruhi terhadap formulasi kebijakan. Untuk lebih lengkapnya dapat di simak di bawah ini :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pelayanan
pemerintah kepada masyarakat pada hakekatnya idnetik dengan berbagai bentuk
kebijakan yang dikeluarkan oleh tiap Departemen atau Dinas di Daerah .
Manifestasi dari berbagai bentuk kebiajakn diatas itulah yang selanjutnya akan
dirasakan secara langsung ataupun tidak langsung oleh masyarakat.
Satu
kebijakan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam kenyataanya tidak banyak
menerima penolakan, dan sebaliknya, manakala formulasi kebijakan yang
dirumuskan tidak merepresentasikan kebutuhan (rakyat banyak) serta kurang
merespon ‘pasar', jelas mendapat respon negative dari rakyat selaku pihak yang
harus menerima kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
tersebut kita dapat merumuskan beberapa masalah :
1. Apa
yang dimaksud formulasi kebijakan ?
2. Bagaimana
cara merumuskan kebijakan ?
3. Apa
saja yang mempengaruhi formulasi kebijakan ?
BAB II
FORMULASI KEBIJAKAN
A. Pengertian
Formulasi Kebijakan
Formulasi
kebijakan publik ialah langkah paling awal dalam proses kebijakan publik secara
keseluruhan.Oleh karenannya apa yang terjadi pada fase ini akan sangat
menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat pada masa yang akan
datang.
Menurut
Anderson (Dalam Winarno, 2007 : 93) formulasi kebijakan menyangkut upaya
menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk
masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.
Formulasi
kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang
paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat
dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu
kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian
besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa; 1994,
2). Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa folicy
formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan
berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah
selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh
tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik), Udoji (Wahab ;
2001, 17) merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai “The whole
process of articulating and defining problems, formulating possible solutions
into political demands, channelling those demands into the political systems,
seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action,
legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”.
Tahap-tahap
tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang
waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir
(penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau
tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.
B.
Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan
Formulasi
kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989, 53), dapat dipandang
dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum
apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan
untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih,
suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan
kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan
kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan
oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau
menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat
Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan
kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan
agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
1.
Perumusan masalah kebijakan
Pada
prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapat
menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah
publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara
subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandang
sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya.
Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi problem umum tidak
hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu masalah yang perlu
segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political will untuk
memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi
positif oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem umum
itu menjadi problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya
menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap
pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan
kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem
tersebut. Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas
masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari
masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses
perumusan kebijakan.
2.
Penyusunan agenda pemerintah.
Oleh
karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka
para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya
memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga
biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih
kongkrit dan terbatas jumlahnya.
Anderson
(1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan
problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
·
Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan
antar kelompok (group equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut
mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa
guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
·
Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu
faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin
politik didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya
untuk memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan
problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.
·
Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar
biasa dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat, sehingga memaksa para
pembuat keputusan untuk memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau
krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah.
·
Adanya gerakan-gerakan protes termasuk
tindakan kekerasan, sehingga menarik perhatian para pembuat keputusan untuk
memasukkannya ke dalam agenda pemerintah.
·
Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis
yang timbul dalam masyarakat, sehingga menarik perhatian media massa dan
menjadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu
tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan
para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isu tersebut.
3.
Perumusan Usulan Kebijakan
Tahap
ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang
perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
·
Identifikasi alternatif dilakukan untuk
kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem yang hampir sama atau mirip,
dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi
terhadap problem yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk
secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga
masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi
yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses
perumusan alternatif.
·
Mendefinisikan dan merumuskan alternatif,
bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat
kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi
pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan
mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
·
Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian
bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai
nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga dengan
mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat
keputusan dapat memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk
dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai
alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang
relevan.
·
Memilih alternatif yang memuaskan. Proses
pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk
dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam
melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah
dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah
diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap
pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif,
dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai
dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan
terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai
konsekwensi dari pilihannya.
4.
Pengesahan Kebijakan
Sebagai
suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan
penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima
(comforming to recognized principles or accepted standards). Landasan utama
untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai
masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses
pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan
bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai “Usaha-usaha
untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan
seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri”. Sedangkan
Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang
mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya
sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan
serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak terlalu
ideal bagi mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah
perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan
kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling
melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat
memperlancar proses pengesahan kebijakan.
C.
Hal-Hal yang Mempengaruhi Proses Formulasi
Kebijakan
Menurut
Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
proses formulasi kebijakan adalah :
1.
Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun
ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang
berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata,
tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia
nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses
formulasi kebijakan.
2.
Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan
lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu
terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti,
meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah
sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang
memuaskan.
3.
Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai
macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh
sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan
pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan
besar sekali.
4.
Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan
sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula
pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang
lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
5.
Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman
latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan
keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering
membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini
disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung
jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masalah
nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik, merupakan aspek metapolicy
karena menyangkut substansi, perspektif, sikap dan perilaku, baik yang
tersembunyi ataupun yang dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang
bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan publik. Masalah nilai menjadi
relevan untuk dibahas karena ada satu anggapan yang mengatakan bahwa idealnya
pembuat kebijakan itu seharusnya memiliki kearifan sebagai seorang filsuf raja,
yang mampu membuat serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya secara adil
sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan
pribadi. Meskipun demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan
keputusan-keputusan kebijakan tidak mampu memaksimasi ketiga nilai tersebut di
atas. Juga, tidak ada bukti pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang
satu lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, maka keputusan-keputusan
kebijakan mau tidak mau haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple values).
Kesadaran akan pentingnya multiple values itu dilandasi oleh pemikiran “ethical
pluralism”, yang dalam teori pengambilan keputusan sering disebut dengan
istilah “multi objective decision making”.